Thursday, February 28, 2013

Mendidik Anak: Cara, Waktu, dan Porsi yang Tepat

Berawal dari tweet seorang teman yang habis mengajak murid-muridnya ke Kidzania, saya jadi latah, ingin mengajak keponakan yang berusia 2,5 th ke sana. Lalu saya tanyakan kepada teman tersebut apakah ada batasan usia minimal untuk anak yang ingin berkunjung ke Kidzania (mengingat tayangan di Tv mengenai program di Kidzania yang rasanya lebih cocok untuk anak usia SD, sementara keponakanku masih piyiiik. Hehehe). Teman saya bilang, batas usia tiap establishment/ wahananya ada yang 4 dan 6 th. Dia menyarankan, sebaiknya bawa anak yang sudah berusia 6 th saja supaya bisa mengunjungi wahana lebih banyak. Wah, berarti saya harus menunggu 3,5 th lagi untuk mengajak si unyil ini *lirik keponakan* Hihihihii.

Dari dialog dengan teman saya itu, saya jadi berpikir bahwa dalam memberikan edukasi bagi anak, selain cara, waktu dan porsi hendaknya juga menjadi pertimbangan sebab ketiganya saling terkait satu sama lain. Sejauh pengamatan saya, baik pada media maupun lingkungan sekitar, pembahasan pendidikan anak cenderung terpaku pada cara, metode. Bagaimana mendidik anak dengan cara yang menyenangkan, dan sebagainya. Padahal, cara yang menyenangkan jika memang "belum waktunya", belum tentu efektif. Contohnya kasus saya tadi. Berkunjung ke Kidzania, tentu akan menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi keponakan saya yang memang senang bereksplorasi. Akan tetapi, wahana-wahana di Kidzania sudah dirancang sedemikian rupa dengan batasan usia minimal tertentu. Saya yakin wahana-wahana itu dirancang sedemikian rupa, menyesuaikan dengan perkembangan kognitif anak. Sehingga kalaupun keponakan saya berkunjung ke sana dan mendapat pengalaman baru, pembelajaran yang telah disiapkan oleh wahana-wahana di Kidzania belum tentu diterima secara efektif oleh keponakan saya mengingat ada kesenjangan antara usia keponakan dengan usia peruntukkan wahana. Perkembangan kognitif keponakan saya tidak sesuai dengan rancangan pembelajaran wahana Kidzania yang diperuntukkan untuk usia dengan tahap perkembangan kognitif yang berbeda.

Kasus lain terkait soal waktu adalah membaca. Kursus membaca sekarang ini dapat kita temukan dengan mudah, semudah kita menemukan upil di hidung kita sendiri. Hahaha. Maksud saya, kursus membaca sekarang ini bertebaran di mana-mana. Apa sebab? Sekolah Dasar Negeri di masa sekarang banyak yang mewajibkan calon siswanya sudah bisa baca, sodara-sodara. Saya kurang tahu dengan Sekolah Dasar Swasta karena yang sering saya dengar peraturan itu dari SDN (Tara Salvia, sekolah tempat saya magang sih ngga gitu). Padahal menurut Kak Seto dalam suatu talkshow di TV, membaca sebaiknya diajarkan saat usia 7 tahun atau kelas 1 SD (FYI, setau saya ada peraturan masuk SD itu umur 7 tahun atau setidaknya jalan 7 tahun. Saya yakin peraturan ini sudah dipertimbangkan dengan matang oleh tim ahli pendidikan dalam membuat kebijakan. Masalahnya, ada kan orangtua yang 'maksa' anaknya untuk masuk SD lebih awal? -..- Kecuali kalau anaknya memang gifted sih ga apa-apa). Dan menurut ibu saya yang berprofesi sebagai guru SD, pelajaran membaca memang adanya di kelas 1 SD. Komentar beliau mendengar SD yang mengharuskan calon siswanya bisa membaca: "Itu sih gurunya males ngajarin muridnya baca" Wkwkwk. 

Entah ya, tapi sepertinya di masyarakat berkembang pola pikir semacam ini: semakin dini masuk sekolah, semakin cerdas si anak nantinya atau semakin dini anak bisa membaca, semakin cerdas ia kelak. Apakah benar? Ternyata tidak. Mengajarkan anak membaca ada usia yang tidak tepat/ terlalu dini menyebabkan kesulitan membaca di kemudian hari, terutama dalam hal pemahaman bacaan. Anda dapat membaca artikel ini untuk mengetahui penjelasan terkait yang lebih detail (ketahuan males meringkas artikelnya nih si ais *dijitak pembaca*). Tambahan, dari kuliah Pendidikan Keluarga yang saya ambil di tahun terakhir kuliah (anak psikologi yang ga ngambil ini rugiii. Udah materinya aplikatif, nilainya juga cincay loh #eh ), mengajarkan anak membaca juga perlu 'pemanasan'. Sebelum mengenal huruf di usia SD, terlebih dahulu anak diajak mengenali bentuk-bentuk geometri sederhana. Bukankah huruf-huruf alfabet merupakan kumpulan bentuk geometri? Naah, pengenalan bentuk inilah yang menjadi modal anak untuk belajar membaca kelak.

 Oke, sekarang mari beranjak ke pembahasan porsi. Yang paling enak dicela masalah porsi ini kurikulum Indonesia. Hahaha. Merasa ga kalau kurikulum di Indonesia itu "berat" banget? Apa? Biasa aja? Selamat. Berarti anda seorang jenius yang pantas memenangkan olimpiade kalau gitu. Tidak perlu melanjutkan membaca tulisan saya. Hush hush (Wakakak). Pertama kalinya saya menyadari bahwa kurikulum Indonesia itu 'berat' saat berbincang-bincang dengan teman (kami duduk di bangku SMA waktu itu) yang pernah tinggal di berbagai belahan dunia karena mengikuti Ayahnya yang seorang diplomat. Dia ingat waktu usia SD adalah kali pertamanya pindah dan menetap di suatu negara, kalau ngga salah Inggris. Dari SD di Indo, dia sudah diajarkan perkalian hingga perkalian 10 dan sudah hafal di luar kepala (itu tuh yang disuruh maju satu persatu di depan kelas duluu. Hahaha). Ketika pindah ke Inggris dan memasuki level yang setara dengan kelasnya di Indo dulu, alangkah herannya ia. Ternyata anak-anak di sana baru belajar penjumlahan dan pengurangan! Alhasil teman saya jadi yang paling "pinter" gitu deh soalnya sudah bisa perkalian. Wkwkwk. Tapi apakah di masa depan anak-anak Inggris itu, atau secara global, apakah hal itu lantas menjadikan Inggris lebih terbelakang dari Indonesia? Silahkan dijawab dalam hati :)) Di sini terlihat keterkaitan antara porsi materi dengan usia (waktu) anak. Porsi materi yang diberikan sesuai dengan usia akan terserap lebih baik.

Setau saya, dari teman dan Papah (yang kebetulan banyak bekerja dengan orang-orang asing dalam hal kurikulum), kurikulum di Indonesia itu seakan 'menjejalkan' berbagai macam ilmu kepada anak didiknya. Mungkin dengan harapan anak Indonesia banyak 'tahu' meski dampaknya memang banyak 'tahu' tetapi cuma kulitnya saja. Sedangkan pendidikan di luar negeri umumnya mencetak spesialis-spesialis di bidang tertentu. Setelah materi dasar diberikan pada tingkatan tertentu, murid-muridnya menjalani peminatan sesuai pilihan dan bakatnya. Setiap anak dijuruskan dalam suatu bidang dan mempelajarinya secara mendalam. Hmm, mungkin kalau dianalogikan kurikulum Indonesia itu horisontal. Semua ingin dicapai, diraup, tapi hanya permukaan saja hasilnya. Sedangkan kurikulum negeri-negeri lain itu vertikal, satu bidang tapi mendalam.

Jadi ingat cerita Ibu saya mengenai sekolah di masa beliau kanak-kanak. Beliau bilang sekolah itu menyenangkan, meski fasilitasnya terbatas, menulis di atas batu sabak (jadi harus bener-bener ingatannya, habis dipakai dicuci batunya). Istirahat sekolah itu lama, sampai sejam. Ibu dan teman-teman kala itu bisa main-main di sungai/ sawah, mencabut kacang tanah di kebun terus dimakan bareng-bareng, pada jam istirahat. Pelajarannya pun tidak sebanyak seperti sekarang. Kata Ibu, melihat anak-anak SD sekarang itu kasihan karena cukup tinggi tuntutan belajarnya. Namun apa mau dikata, guru pun juga mengejar ketuntasan dan target kurikulum yang ditetapkan. Dilematis memang.

Yap. Sekian ocehan soktau saya kali ini. Mendidik anak itu seperti halnya memberi makan pada anak. Cara yang tidak menyenangkan bisa membuat anak trauma terhadap jenis makanan tertentu, pemberian makanan yang tidak sesuai usia (waktu) bisa menyebabkan sistem metabolisme anak terganggu (bayangin aja anak bayi dikasih kare kambing), dan porsi yang berlebih bisa membuat anak muntah ataupun obesitas yang rentan terkena berbagai macam penyakit. Tugas kita sebagai (calon) orangtua adalah membuat formula agar cara, waktu, dan porsi dapat bersinergi dengan baik. Mari sama-sama belajar. Selamat malam! :)



0 comments:

Post a Comment

 

Blog Template by BloggerCandy.com