Tuesday, December 24, 2013

keberagaman

Pagi ini, entah mengapa merasa bersyukur telah dikenalkan, berteman dan bersahabat dengan orang-orang yang beragam.
Ya, beragam secara suku, agama, kebiasaan, status sosial ekonomi, dan lain-lain.
Stereotip, prasangka, memudar, menghilang seiring dengan semakin mengenal dan berinteraksi.

Ketika saya memasuki lingkungan di mana saya menjadi minoritas, masih kuat dalam ingatan ketika seseorang menanyakan saya bagaimana rasanya (jadi minoritas), "Kamu ga culture shock? Secara kamu (dan dua orang lainnya) berbeda dari kebanyakan?"
Di awal sempat khawatir, apakah saya bisa bergaul dengan baik di lingkungan ini.
Tapi toh saya yakin, selama kita memandang positif sejak awal, semua akan positif pada akhirnya.
Dan itu terbukti.

Alhamdulillah.

Bagi saya, menghilangkan stereotip dan prasangka itu setidaknya mengurangi beban pikiran. Berpikiran negatif itu bikin capek soalnya :p
Saturday, December 21, 2013

time and distance will heal.

Beri saya jarak
agar saya bisa melihat ini semua secara menyeluruh
barangkali selama ini ada kebaikan-kebaikan yang luput dari penglihatan

Beri saya waktu,
untuk menata kembali apa-apa yang terserak
mengembalikannya seperti sedia kala

Give me time.
Give me distance.
Because I believe time and distance will heal.
Sunday, December 8, 2013

Maira: Titik #7

"Jadi?"
"Jadi? Ya selesai, na. Terjawab sudah"
Ina memandang sahabatnya yang tersenyum. Ia tahu, ada luka di balik itu. Mata sembapnya tak bisa menutupi apa yang terjadi semalam tadi. Tapi toh ia menghargai usaha Maira, untuk tetap tersenyum.
"Lalu?"
"Lalu? Ya berlanjut seperti biasanya, Na. Apa yang dianggap buruk belum tentu begitu dalam pandangan Tuhan, bukan? God turns you from one feeling to another and teaches you by means of opposites, so that you will have two wings to fly-not one*. Aku, berprasangka baik saja pada Tuhan yang Maha Baik"
"Terus?"
"Terus? Lalu? Jadi? Hah. Aku pun bisa merespon kalau cuma seperti itu, Na" Maira melemparkan bantal yang ada di dekatnya kepada Ina, tertawa. Ina mengelak, dan ikut tertawa lega. Ia tahu, sahabatnya, tabah seperti biasanya.

Akhirnya, satu kisah selesai ditulis.
Terpaksa diselesaikan sebelum berlarut-larut.
Tidak berakhir dengan bahagia, memang.
Tapi batin ini rasanya lapang, sebab segala tanya sudah bertemu jawabnya
Meski ada yang menggenang di pelupuk mata, tapi ini yang terakhir kalinya.
Dan tidak akan pernah ada lagi. Tidak akan pernah.
...................................................................
Jika mengagumimu sudah sebegini bahagia,
memilikimu menjadi hal yang tidak perlu**

Maira, 13 Desember 2001





*) Quote by Jalaludin Rumi
**) dikutip dari bait terakhir Puisi Untukmu oleh Marissa Abdul
Friday, December 6, 2013

Tentang Mama

Mama itu,
yang selalu sigap merapihkan tempat tidur, mengganti sprei-nya dengan yang baru ketika anaknya yang pulang ke rumah,
yang selalu memasak makanan kesukaan anak-anaknya
yang selalu ingat anak-anaknya ketika sedang makan makanan kesukaan mereka
yang selalu repot mengurus ini itu dan tidak pernah meminta bantuan kecuali terpaksa
yang selalu tahu kebutuhan anak-anaknya tanpa diminta
dan tentunya,
yang akan selalu ada di hati anak-anaknya :)
Thursday, December 5, 2013

It may not be always "right"


Memasuki perkuliahan profesi, saya mendadak memiliki "kitab suci" tambahan. Orang-orang yang bergerak dalam ilmu psikologi dan psikiatri punya semacam 'kitab suci' berisi kriteria-kriteria gangguan mental yang dijadikan panduan dalam mendiagnosis gejala-gejala gangguan mental. Kitab suci itu adalaaah:


Kitab Suci para mahasiswa/ profesi Psikologi dan Psikiatri

Itu saya ambil gambarnya dari wikipedia. Makanya buku yang bagian bawah berbahasa latin macem telenovela.

Kitab itu bernama Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM), yang diterbitkan oleh APA. Yang bawah itu edisi IV revisi, yang sekarang masih dijadikan acuan bagi para profesional. Sedangkan yang atas, biru, edisi terbaru dari DSM, namun kalau di Indonesia nampaknya belum dijadikan acuan. Di kampus saya hanya sebatas dipelajari dan dibandingkan dengan edisi sebelumnya, apakah ada perubahan dalam kriteria suatu gangguan mental atau tidak.

DSM V ini menuai kontroversi. Mulai dari tidak adanya psikolog yang dilibatkan dalam pembuatannya, sampel yang tidak representatif dalam pembuatan kriteria, dan banyak lagi sehingga validitas dan reliabilitas kriteria yang dicantumkan dipertanyakan. Sebelumnya DSM juga pernah menuai kontroversi ketika tidak lagi mengkategorikan homoseksualitas sebagai gangguan. Isu yang beredar, ada orang yang secara finansial kuat di belakang keputusan tersebut dan ia berasal dari golongan yang pro homoseksualitas.

Seorang dosen pernah berpesan agar kami, para mahasiswa jangan naif dan harus tetap kritis dengan penelitian-penelitian ilmiah yang ada. Terutama di bidang klinis, penelitian tentang obat-obatan tertentu untuk mengurangi gejala gangguan tertentu sangat banyak beredar. Beliau bilang kami harus lihat juga siapa yang melakukan penelitian dan donatur/ sponsor penelitian tersebut. Banyak penelitian tentang intervensi farmakologis (intervensi dengan obat-obatan, terutama untuk gangguan mental) yang disponsori oleh industri yang memproduksi obat-obat yang diteliti itu.
Hmmm. Nangkep kan maksud dosen saya? ;) Jangan naif bahwa politik juga bermain dalam bidang keilmuan. Begitu pesan dosen saya.
 Wew. Even a research which seems scientific may not be always "right"

Lantas, apakah sains, data ilmiah lantas tidak bisa dijadikan pegangan?
Nope. Bukan itu maksudnya. Menurut saya, jika kebenaran dalam menuntut ilmu adalah tujuan, maka sains adalah jalan terbaik untuk mendekati tujuan itu. Hanya saja kita perlu kritis menghadapinya dan itu perlu usaha lebih dari diri kita.
Allah, berikan saya kekuatan, kecerdasan dan hindarkan saya dari rasa malas menghadapi semua ini.

Kecewa

Kecewa.
Seberapa sering pernah kecewa, dikecewakan?

Entah mengapa beberapa hari ini saya memikirkan betapa mudahnya saya kecewa oleh hal-hal yang sebenarnya (mungkin) sepele bagi orang kebanyakan. Saya ingat, dulu sekali pernah kecewa, sangat kecewa, ketika seorang teman baik, yang “menyalin” tugas saya, memberikan tugas saya kepada teman lain tanpa seijin saya. Saya bukannya keberatan tugas saya disalin oleh teman yang lain itu. Yang buat saya keberatan adalah tugas saya berpindah tangan tanpa seijin saya. Ketika saya meminta lembar tugas saya kepada si ‘teman baik’, ia sambil lalu dan dengan santainya mengatakan“Oh, ada di si X”. Sepele ya? Tapi toh yang tertanam dalam diri saya, apapun itu, seberapa dekatpun kita dengan seseorang, meminta ijin untuk mengakses, meminta hak/ kepunyaan orang lain aturannya ya minta ijin dulu.

Saya pernah kecewa, ketika seseorang yang di awal nampak alim dan intelek, suatu saat membicarakan kejelekan orang lain. Rasanya sayang sekali jika orang secerdas dia, harus ‘jatuh’ hanya karena hal yang sebenarnya bisa dihindari itu. Dan banyak hal lagi sebenarnya yang membuat saya kecewa. Dan apakah saya frustasi karena banyaknya kekecewaan yang saya alami dalam hidup saya? Untungnya tidak. Sepertinya tidak, lebih tepatnya. Hahaha
Dulu sempat merasa marah dengan harapan-harapan saya tentang orang lain, tentang keadaan, yang tidak sesuai kenyataan. Namun suatu saat ada kejadian yang membuat saya sadar bahwa tidaklah bijak menetapkan standar tertentu, apalagi standar yang tinggi, terhadap orang lain.Tiada gading yang tak retak. Ada hal-hal yang harus kita pahami sebagai bagian dari kekhilafan sebagai manusia si tempatnya salah dan lupa, dan sayapun bukannya tidak pernah mengecewakan orang lain. Dari ceramah-ceramah agama yang saya dengar, berharap kepada selain Allah hanya akan membuat kita kecewa. Mungkin itu masalah saya, terlalu berharap banyak pada makhlukNya.
Meskipun begitu, sampai saat ini saya masih bertanya-tanya, sampai sejauh mana kita harus memaklumi, menerima kekhilafan orang lain, apalagi jika itu terjadi secara terus menerus??
 

Blog Template by BloggerCandy.com