Terus terang saya baru mengetahui istilah itu sekitar setahun lalu dari tulisan Prof. Komaruddin Hidayat di harian Kompas : Keislaman Indonesia .
Keshalehan sosial menurut saya (merujuk pada bacaan di atas) merupakan suatu perpanjangan dari keshalehan individual, implementasi dari ibadah-ibadah ritual yang terwujud dalam perilaku sehari-hari, sifatnya selalu berhubungan dengan orang lain. Adapun keshalehan individual dapat dilihat dari kuantitas ibadah/ ritual keagamaan. Misalnya, alkisah hiduplah seseorang bernama A (bukan Aisyah Ibadi, bukaaan). A ini rajin sekali puasa Senin-Kamis, tetapi tiap datang ke walimahan temannya, A ngga bisa nahan diri untuk ga makan sebanyak mungkin yang dia bisa (hayoh ngaku yang suka begini! #mantul). Alhasil tiap ke walimahan orang, A suka kalap dan kekenyangan sendiri. Nah, si A ini secara keshalehan indvidual oke karena dia rajin puasa Senin-Kamis. Tapi keshalehan sosialnya kurang. Ibadah puasa yang hakikatnya melatih pengendalian diri (hawa nafsu) tidak diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan A.
Beberapa ada yang menyangsikan hasil penelitian yang dicantumkan di tulisan Prof Komaruddin. Tetapi saya rasa, kalau kita melihat keseharian umat muslim di sekitar, cukup klop dengan penelitian itu kan? :p Sama halnya dengan cerita ayah saya berikut ini. Sepulang ibadah haji kemarin, ayah saya bercerita bahwa suatu ketika menangis di Tanah Suci. Saya kira beliau menangis karena melihat Ka'bah atau Masjidil Haram seperti cerita yang umumnya saya dengar dari orang-orang yang beribadah di sana. Ternyata yang membuat ayah saya menangis adalah sampah-sampah yang berserakan bekas para jamaah. Ayah menangis karena sedih melihat umat Islam masih belum tertib, bahkan hanya untuk membuang sampah pada tempatnya pun "belum bisa". Di satu sisi (ya pada taulah kalo orang lagi ibadah haji kerjaannya shalat-doa-dzikir doang) mengejar predikat shaleh secara individu, tetapi shaleh sosialnya? Silahkan dijawab masing-masing :)
Kemarin saya membaca buku yang membahas tentang shalat. Dalam buku itu saya menemukan sebuah hadits yang konteksnya dalam keshalehan individual (shalat) tetapi ada pesan untuk shaleh sosial juga.
"Jika salah seorang kamu shalat, maka janganlah dia letakkan sandalnya di sebelah kanan, dan jangan pula di sebelah kiri, sehingga sandal itu ada di kanan orang lain, kecuali bila tidak ada siapapun di sebelah kirinya. Dan hendaklah dia letakkan sandalnya di antara kedua kakinya" (HR. Abu Daud)
"Apabila salah seorang kamu shalat, hendaklah dia shalat dengan sandalnya atau meletakkannya di antara kedua kakinya dan jangan mengganggu yang lain dengan sandalnya" (HR. Abu Daud)Yang saya garisbawahi itu, menurut saya menunjukkan perintah agar kita 'shaleh sosial' dengan tidak mengganggu orang lain. Di situ juga terkandung aturan main yang paling utama untuk agar kita shaleh sosial: peka terhadap hak orang lain. Dengan peka terhadap hak orang lain, kita akan memikirkan baik-baik segala tindakan kita, apakah bermanfaat atau malah merugikan orang lain.
Jadi, masih mau cuma rajin ngaji dan hafal Qur'an? ;)