Hari I - 16 Juni 2010Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Saya bergegas menuju kamar mandi meskipun merasa kurang sehat. Hari ini saya harus mengawas snmptn di SMK 27 Jakarta, Jakarta Pusat. Karena pengawas diharuskan berkumpul di lokasi ujian jam 6 pagi, mau tak mau saya harus naik kereta jam 5 pagi dari stasiun UI, Depok. Sebenarnya saya masih merasa lemas setelah seharian muntah kemarin. Perut juga masih merasa mual. Kalau bukan butuh honor ngawasnya, mungkin saya sudah kembali tidur tadi.hehehe. Ya, akhir-akhir ini uang bulanan saya begitu cepat “menghilang”. Ongkos bolak-balik kampus-rumah, kepanitiaan, iuran ini-itu, ada barang yg harus dibeli, dll. Padahal saya sudah menekan uang makan sebisa mungkin, tapi tetap saja, si uang begitu mudahnya pergi meninggalkan si dompet (dasar ga setia). Akibatnya, baru tengah bulan, uang saya sudah raib. Mau minta lagi ke orangtua, rasanya maluu banget. Dan saya juga tak tahu harus berkata apa jika ditanya mengapa bulan ini saya boros sekali.
Oke, jam menunjukkan pukul 5. Wah, bisa-bisa ketinggalan kereta nih. Saya pun bergegas. Kulihat ai, teman satu kos yang juga akan mengawas, nampaknya baru selesai mengaji. Ia nyengir melihat saya sudah rapih binti cantik (uhuk!), saya balas dengan cengiran yang tak kalah lebar.
Saya: “Ai, berangkat yaa”
AI: “hati-hati yaa”.
Ai mengawas di SMA 38 Jkt, dekat sekali dengan kosan. Dia hoki bgt memang.Dan saya kebagian sialnya, mengawas di SMK di Pasar Baru, daerah yang mungkin sebenarnya pernah saya lewati. tetapi karena penyakit keder ditambah kecerdasan spasial di bawah rata-rata, saya sama sekali buta arah untuk mencapai SMK itu.
Udara pagi yang dingin menyergap begitu saya keluar kosan. Nampaknya semalam turun hujan sehingga pagi ini lebih dingin dari biasanya. Wah, jalan margonda pagi-pagi begini lumayan rame juga. Saya pun menyebrang. Setelah naik angkot sebentar, kususuri gang sempit menuju loket stasiun kereta. Ih, gelap bgt. Agak takut, saya mempercepat langkah. Sesampainya di depan loket:
Saya: “Mas, yang paling cepet jurusan Jakarta kota apa?”
Mas-mas tukang karcis: “Ekonomi. jam 5:15 (ekspresi datar, sambil menyerahkan karcis ekonomi pada saya)”
Saya pun menunggu kereta ekonomi itu. Saya edarkan pendangan ke sekeliling. Rame juga. Kirain saya akan bengang-bengong sendiri di stasiun yang gelap dan dingin. hehehe. Dugaan saya salah ternyata. BANYAK orang yang mau naik kereta juga bersama saya. Nampaknya mereka adalah para penglaju yang biasa mengadu nasib di Jakarta setiap harinya. Ada yang berkemeja, rapih. Ada juga yang berpakaian seadanya, beralaskan sandal jepit dan tas selempang lusuh. Ada yang membawa barang (mungkin) dagangannya, dll. Wajah-wajah pekerja deh pokoknya. Saya jadi teringat, dulu papah juga suka naik kereta kalau berangkat kerja (sekarang naik motor). Beliau berangkat pagi-pagi ke stasiun depok baru. Waktu itu papah saya memilih kereta dengan alasan badannya suka pegel-pegel jika harus naik motor (tapi sekarang naik motor dengan alasan lebih cepat nyampe.hehehe). Tiba-tiba saya merasa mengalami apa yang dihadapi papah setiap harinya. Ya, saya merasa harus pergi, meskipun kurang sehat, untuk mendapatkan uang. Papah sering mengeluh kurang enak badan, tapi toh berangkat kerja juga. Karena kalau terlalu banyak bolos kerja, ada kompensasinya juga dan berdampak pada penghasilannya (Papah saat ini, alhamdulillah, sedang ikut proyek dari USAID).
Saya paksakan pergi meskipun menahan mual di perut karena saya memang butuh uang, uang untuk memenuhi kebutuhan saya setengah bulan ke depan. Ga separah orang lain sih yg butuh uang untuk menafkahi keluarga atau memenuhi kebutuhan hidupnya, saya butuh uang kalau-kalau setengah bulan ke depan saya harus bolak-balik ke kampus untuk mengurusi ini-itu (sok sibuk ya, tapi emang begitu kenyataannya) dan itu butuh ongkos yang cukup menguras dompet (sekali bolak-balik 26 ribu cuy. T____T) ataupun membeli keperluan selama ada di kosan.
Sial. Keretanya telat,jam 5.40 baru nongol. Cepat-cepat saya langkahkan kaki, masuk ke gerbong. Penuh. Dan seperti yang saya duga sebelumnya, saya harus berdiri. Sekitar 15 menit perjalanan, saya merasa pusing sekali, rasanya pengen duduk, tapi ga ada tempat duduk. Mana perut mual lagi. Malu banget kalo sampe muntah di kereta. Saat saya memutuskan untuk jongkok di bawah, seorang ibu turun dan menawarkan tempatnya untuk saya. Alhamdulillah. Saya pun duduk dan langsung tertidur.hehehehe.
Seperti sudah diatur, di stasiun cikini (tau dari mas-mas sebelah) saya bangun. Kata temenku, saya harus turun di juanda. Akhirnya sampai juga di St.Juanda. Dari stasiun saya naik ojek (“Bang, ke SMKN 27 ya!) daan heeey, finally I found you, SMKN 27!! Persis di depan Halte Transjakarta Pasar Baru ternyata.Saya sampai SMKN 27 sekitar jam 6:30. Dasar Indonesia, dibilangnya pengawas harus udah di ‘tkp’ jam 6, taunya pas saya datang masih kosong, sepi, senyap, cuma ada segelintir panitia pengawas snmptn. HUH. Padahal tadi udah lari-lari plus lompat indah segala biar ga telat…
Hari II - 17 Juni 2010Oke, kali ini saya lebih santai berangkatnya. Ujian snmptn hari ke-2 dimulai 10.30, paling tidak saya sudah ada di tkp jsejam sebelumnya, jam 9:30. Yippiii! berarti saya ga harus berangkat pagi-pagi buta. Tapi, berhubung saya terlalu nyantai, jam 8 saya baru berangkat. Saya lupa kalau di Jakarta, lama perjalanan ga bisa diprediksikan. Jika anda bernasib bagus, mungkin perjalanan depok-blok M sekitar 30 menit. Tapi bisa juga anda bernasib SANGAT SIAL, dimana perjalanan depok-blok M menjadikan anda tua di jalan atau membuat anda serasa pergi ke luar kota saking lamanya.
Sedikit tergesa, saya berjalan menuju stasiun UI. Seperti biasa (dan direspon seperti biasa juga), saya menanyakan kereta apa yang paling cepat hadir di stasiun ui yg lewat di st.juanda. Si mas-mas muka rata -tukang karcis- itu bilang, kereta ekonomi ac jurusan tn.abang lah yg paling cepat dan itu lewat st.juanda. Okelah. tanpa pikir panjang, saya beli karcisnya. Tiba-tiba, mbak-mbak cantik di belakang saya bilang: “ itu mah ga lewat dek. Adek harus turun di manggarai, lalu nyambung lagi untuk sampai ke st.juanda”. Mendengar perkataan si mbak itu, kutatap si penjual karcis dengan penuh tanya:
Saya: “jadi gimana nih mas??kata mas kereta jurusan tn.abang lewat juanda??? “
Mas-mas muka rata: (nyengir) saya juga kurang tau sih mbak sebenernya (nyengir lebih lebar dari sebelumnya a.k.a cengengesan)
Saya: …………….. (MINTA DITABOK BANGET SIH MAS)
Hadeeeeeeeeh. yasudahlah, karena takut terlambat, saya naik juga kereta jurusan tanah abang itu, ekonomi ac. Biarin deh, ntar nanya-nanya orang di manggarai aja, pikir saya. begitu masuk gerbong, bedeeuh, penuh bok. Berasa ikan sarden yang berjejalan dalam kaleng. Nampaknya kalaupun ada goncangan, saya ga akan jatuh. Habis, nempel banget kanan-kiri depan-belakang. Untungnya saya menghadap ke jendela, jadi ga mumet-mumet banget di dalam kereta. Dan untungnya lagi, itu ekonomi ac. ga kebayang deh kalo ekonomi, keluar gerbong udah bau ketek pasti.
Seperti biasa, saya memperhatikan orang-orang sekitar. Kebanyakan yaa orang-orang kantoran gitu sih diliat dari penampilannya: kemeja/blazer, celana/rok bahan atau atasan batik. Hmmm..lagi-lagi saya teringat papah saya. Mungkin begini rasanya jadi papah, berangkat pagi-pagi, di kereta berdiri, berdesak-desakan. Waaw. menurutku itu butuh stamina yang luar biasa, apalagi papah bisa dibilang sudah tak muda lagi. Pantes, papah suka males berangkat kerja, beliau bilang: “Papah mah males di perjalanannya itu loh is. Kalo udah nyampe kantor mah asik-asik aja”. Hooo, dan sekarang aku merasakan apa yang kau alami, pah :) Tak mudah memang kalau setiap hari harus menghadapi kondisi seperti ini. Sampai di manggarai, saya nyambung ke pasar baru naik transjakarta. Sempat nyasar dikit waktu mau ke halte nya itu.usia dua puluh taun masih keder mana kanan mana kiri. zzzzz.....
Di dalam bus transjakarta, saya kembali berdesakan. Pukul 10:00 saya sampai di SMKN 27. Fiuhhhhhh……………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Dua hari mengawas akhirnya terlewati. Saya dapat honor 300.000!! Yeiiiy! Alhamdulillah y Allah. Cukup lah untuk “hidup” setengah bulan ke depan.300.000 yang membuat saya mengabaikan rasa sakit. 300.000 yang penuh perjuangan karena untuk mendapatkannya harus melewati rasa pusing, mual, macet, berdesakan dan nyasar. 300.000 yang mengingatkan saya bahwa begitu besar perjuangan para pencari nafkah, termasuk papah saya (oke pah, sekarang saya bisa lebih simpatik saat papah males berangkat kerja.hehehe). 300.000 yang tak akan pernah saya lupa seumur hidup saya. 300.000 yang kini sudah habis dipakai bayar utang, ongkos, beli makan, beli buku…...