denger percakapan
antara (nampaknya sih) suami-istri ini di angkot:
S (Suami): Nanti kamu turun di perempatan X, ya. Mas
lanjut...
I (Istri): Lho? Mas mau kemana emangnya?
S: (diam sejenak) Ke situ..
I: Iiih, kemana? (sambil
mencubit lengan suaminya)
S: (sedikit menghela nafas tak
sabar) Kerjaan...
I: Ha? Kerjaan apa? (nada
suara sedikit meninggi)
S: Ya kerjaan lah... Nanti
kamu habis dari rumah N mau kemana? (mengalihkan pembicaraan)
I: (raut muka masih menatap
suami penuh tanda tanya) Langsung pulang terus... bla..bla..bla..
Dan si Istri pun
berhasil ”dialihkan” oleh si suami.
Ia tidak lagi bertanya kemana suaminya akan
pergi dan mau apa.
Secuplik
percakapan itu membuat saya berdoa dalam hati,
semoga nanti, suami saya
jujur dan percaya sama saya, termasuk mau mengatakan pada istri mau kemana dan
akan melakukan apa, terutama soal mencari nafkah.
I think, when we marry someone, we commit that we’ll trust and to be trusted.
We are not only trust on our spouse but also be a spouse who-can-be-trusted.
Because love is a trust and trust needs honesty.
Tulisan ini didasarkan pada tebakan penulis bahwa kedua pasangan itu adalah benar suami-istri dan prasangka penulis bahwa ada ketidakjujuran dari suaminya.
0 comments:
Post a Comment