Sebuah novel yang mengisahkan kehidupan rumah tangga Rahmat dan Tata. Tujuh tahun berumah tangga masih belum dikaruniai anak. Tata, yang sangat mengidamkan kehadiran bayi sudah mencoba berbagai cara. Akhirnya ia memutuskan untuk memeriksakan diri ke ginekolog setelah sekian tahun menghindarinya karena takut mendengar hasilnya. Hasilnya? dia dinyatakan sehat. Rahimnya sehat kok, ga kurang suatu apapun. Ternyata masalah ada pada sang suami, Rahmat. Rahmat, suami yang sangat dicintainya itu, dinyatakan infertile. Konflik pun dimulai. Dan seterusnya (silahkan dibeli dan dibaca bukunyaa ;) )
Aaah, I think a lot after read that book
What if it is happened to me??
*naudzubillah kalo sampe infertile atau gimana, but who knows?*
Will you still love me?
Will you still wanna be my world?
Will you still be the one whom the face I see when I wake up in the morning?
*ciaelaaaaah! T-O-O M-U-C-H*
Begitu juga sebaliknya. Seriusan ya, ga kepikiran sama sekali, kalo tiba-tiba pasangan kita ternyata tidak seperti yang kita kenal sebelum menikah.
Orang yang gw taksir karena kepintarannya, selesai resepsi mendadak bodoh karena terbentur tembok saat kepeleset di kamar mandi.
*perumpamaan yang lebay mengerikan, aisyah. -__- *
Will I still love him?
Mengevaluasi pengalaman taksir menaksir gw, cukup sering kejadian yang begitu ada perilaku atau hal-hal yang menunjukan cela dari gebetan, then, I’m sorry goodbye darleeeng! Ilang seilang-ilangnya perasaan suka gw ke orang itu. Jahat, menuntut kesempurnaan tanpa bercermin diri. Tapi yaa, begitu kenyataannya.
*ckckck*
Novel ini mengingatkan pada gw, bahwa hal-hal yang tak kita harapkan dari pasangan itu mungkin banget terjadi dan baru kita ketahui setelah menikah. Kalau udah gitu, terus gimana dong? Minta cerai? Gampang beneer, seakan keputusan menikah segampang saat kita mau memutuskan untuk membeli bakso atau tidak, yang kalo udah membeli terus pas dicoba taunya ga enak bisa ditinggal begitu saja sang bakso beserta mangkoknya
*yee mangkoknya emang punya abangnya, is. Ga boleh dibawa pulang*
Eh kenapa gua menganalogikan dengan membeli bakso? Karena saat ini gua lagi ngidam bakso
*-__- abaikan*
Oke, back to the topic, bagaimana dengan menikah? Semudah itukah? Memutuskan untuk menikah aja kayaknya bukan perkara sehari dua hari deh. Separuh agama, boooi. Sayang sekali kalau harus begitu saja diakhiri hanya karena kita merasa pasangan tidak sesempurna yang kita harapkan. Novel ini menggambarkan dengan lugas dan konkrit sejauh mana komitmen dapat mempengaruhi suatu hubungan. Selama ini komitmen itu abstrak sekali bagi gw. Gw tau kita butuh komitmen dalam menjalin hubungan. Tapi aplikasi dalam berumahtangga itu loh, ga kebayang bentuknya kaya apa. Komitmen untuk mau bersama dengan pasangan, mengarungi bahtera kehidupan apapun yang terjadi.
*siksasik*
Karena, komitmen itulah yang bisa bikin suatu hubungan bertahan, membuat seseorang menyikapi kekurangan pasangan dengan bijak. Toh diri juga ga sempurna, ga berhak rasanya menuntut kesempurnaan yang rasanya tak mungkin juga dimiliki manusia.
Menikah bukan untuk mencari pasangan yang sempurna, tapi belajar untuk bisa mencintai pasangan dengan sempurna, someone said that.
Note: tentu aja menerima kekurangan ini bukan berarti mau diperlakukan kasar, menerima kekerasan dari pasangan. Absolutely, NO. Bukan hal-hal yang intolerate, seperti masalah agama dan kekerasan rumah tangga, yang kita bicarakan saat ini.
Yah, baiklah. Mari sama-sama belajar mendewasakan diri, mempersiapkan untuk berkomitmen.
*jadi lo udah mau nikah ya, is?*
Ya mau lah. I’m normal. Meskipun hal ini bukan menjadi prioritas untuk saat ini, ga apa kan mempersiapkan dari sekarang? ;)
“from now on, start loving someone,
because you want to….”
- Ninit Yunita dalam Test Pack-
*mendadak pengen ngupas abis triangle of love-nya Sternberg. I think his theory about love is worth to know. Attracted?;) *
0 comments:
Post a Comment