Harusnya saya baca buku penlit kualitatif buat kuliah nanti siang. Tapi, ada satu hal yang mengganggu. Berawal dari pembicaraan seminggu yang lalu, di kelas Psikologi Pemberian Bantuan (biasa disebut Helper). Waktu itu dosen matkul tsb meminta kami menuliskan hal-hal yang ingin kami pelajari dari mata kuliah tsb. Salah seorang teman di kelompok, sebut saja namanya Bunga (bukan nama sebenarnya), bilang “Saya pengen deh mempelajari konseling untuk keluarga kita sendiri” Begitu kira-kira ujarnya, saya sendiri lupa kalimat persisnya kayak gimana. Dia bilang begitu karena salah seorang dosen pernah bilang (kira-kira begini):
“Psikolog itu ga bisa “dipakai” untuk keluarganya sendiri, karena saat memberikan “nasihat”, keluarga melihat dia bukan sebagai psikolog. Akan tetapi melihat dia ya sebagai anak (kalau dari sudut pandang ortu), kakak, adik, dsb. Ada bias yang cukup besar sehingga menyebabkan konseling (atau “nasihat” lah ya kalau bahasa awamnya) yang diberikan psikolog itu kurang “sampai” maknanya kepada keluarganya”.
Kata teman saya juga, dosen itu selalu merujuk keluarganya yang bermasalah ke teman-temannya yang juga psikolog (tidak dia tangani sendiri). Cetarrr!! Apa yang menjadi ketakutan saya selama ini nampaknya terbukti benar. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat dimintai tolong oleh orangtua untuk “membereskan” adik saya yang sedang bandel-bandelnya (adik saya remaja, kelas 2 SMA). Waktu itu saya pun merasa kesulitan, merasa tidak didengarkan, merasa tidak berguna sama sekali sebagai mahasiswi psikologi. Saya, yang begitu lancar menganalisa kasus-kasus yang saya temui baik itu di ujian maupun tugas lapangan, merasa tak berdaya saat kasus itu datangnya dari keluarga dekat.
Menyedihkan? Ya, sangat menyedihkan. Saya sempat sedih lamaa, bahkan perasaan menyesakkan itu masih tersisa sampai sekarang. Dan beberapa saat yang lalu pernyataan teman saya tadi seakan memperkuat ketakutan saya itu. Terlebih lagi, ada cerita-cerita sedih seputar keluarga psikolog. Saya sih baru dengar dari dua keluarga, tapi toh itu cukup membuat saya sangaaat miris dan takut. Yang pertama, diceritakan oleh teman saya, sebuah keluarga pasangan psikolog, punya sekolah pula. Tapi anak-anak mereka mengalami masalah dalam hubungan sosialnya. Dari anak pertamanya (temannya teman saya yang cerita sama saya), keluarlah keluhan bahwa orangtuanya dianggap tidak dapat memahami perasaan dia. Orangtuanya menuntut ia dan adik-adiknya untuk tampil “perfect” dihadapan klien-kliennya, bahkan dalam hal pakaian pun diatur. Ia merasa tidak pernah didengarkan. Selalu menjadi pihak yang bersalah. Sungguh, kisah ini menjadi peringatan keras bagi saya kelak saat menjadi orangtua. Ada juga teman saya yang ibunya psikolog, tapi dia sendiri merasa kehilangan ibunya. Ibunya terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Duh, mendengar cerita-cerita itu, mau nangiiiiis banget. Kok bisa sih, seorang psikolog yang seharusnya memahami kebutuhan manusia (terutama anaknya, karena dia belajar perkembangan manusia), bisa “khilaf” sedemikian rupa bahkan menimbulkan “penderitaan” bagi anaknya itu, anak kandungnya? Saya takut. Takut terjebak dalam kondisi yang menyebabkan saya menuntut “kesempurnaan” dari keluarga saya nantinya. Beban sebagai mahasiswa psikologi sudah saya rasakan sekarang, dimana orang-orang menganggap kami bisa “membaca” orang lah, tahu segala-galanya tentang perilaku manusia, dsb dsb. Apalagi kalau saya sudah menjadi psikolog, akankah masyarakat sekitar memberikan standar tertentu dan saya terbawa-bawa nantinya?
Naudzubillah :’(
“Allah, ingatkan aku bahwa aku bercita-cita menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku kelak dan menjadi sumber kebahagiaan bagi keluarga dan orang-orang terdekat. Bimbing aku untuk menjadi manusia yang bermanfaat, terutama untuk keluargaku”